Rabu, 12 Desember 2012

Inkonsistensi Penerapan Otonomi Daerah



Maraknya tuntutan pemekaran daerah dan kegagalan otonomi daerah, terutama berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasar rakyat, menjadi topik utama dalam kaitannya dengan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Tuntutan pemekaran daerah menjadi salah satu isu hangat yang muncul di tengah maraknya pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah dan DPR juga baru saja bersepakat untuk membahas rancangan undang-undang tentang pembentukan kabupaten/kota baru. Pembahasan ini akan meliputi 17 kabupaten/kota baru, 12 di antaranya merupakan usul inisiatif DPR. Tuntutan pemekaran daerah bukan hal yang baru. Sejak kebijakan otonomi daerah diterapkan pada 1999, pemerintah membentuk tujuh provinsi, 144 kabupaten, dan 27 kota.
Maraknya tuntutan pemekaran sendiri tidak lepas dari kebijakan otonomi daerah dari pemerintah pusat. Terlebih, kenyataan bahwa otonomi daerah juga melibatkan distribusi dana dalam jumlah yang cukup besar juga telah membuat tuntutan ini semakin menarik. Sebut saja ketentuan tentang bantuan dana dari daerah induk dalam jumlah yang besar (Rp5 miliar sampai Rp10 miliar selama dua tahun).
Untuk 2007, pemerintah pusat mengalokasi anggaran ke daerah adalah Rp250,5 triliun, yang terdiri dari dana alokasi umum dan dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil sebesar Rp243,9 triliun. Sementara itu, Rp6,7 triliun sisanya untuk biaya otonomi khusus dan penyesuaian.
Bahkan, di tengah usulan untuk menunda pemekaran daerah, DPR memutuskan untuk membahas pembentukan 12 wilayah (dari 39 usulan yang diterima) sambil menunggu revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 129/2000 tentang Pemekaran dan Penggabungan Wilayah.
Sementara itu, sampai saat ini terdapat usulan pemekaran 90 kabupaten/kota dan 21 provinsi ke Depdagri. Di DPD, terdapat sekitar 50 usulan pemekaran kabupaten/kota dan 1 provinsi. Maraknya tuntutan pemekaran daerah juga tidak lepas dari adanya bantuan dana dari daerah induk (DAU dan DAK) dalam jumlah yang besar (Rp5 miliar selama dua tahun), sehingga membuat usulan pemekaran daerah semakin menarik.
Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa pemekaran bisa dilakukan jika memenuhi tiga syarat, yaitu teknis, wilayah, dan administratif.
Lebih jauh lagi, seperti yang termaktub dalam Pasal 2, Peraturan Pemerintah No 129/2000 disebutkan tujuan-tujuan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah.
Dalam pasal itu, dikatakan pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hal ini dilakukan di antaranya melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat; percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; peningkatan keamanan dan ketertiban; serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Di sisi lain, maraknya tuntutan pemekaran daerah pun tidak luput dari konflik, seperti konflik yang terjadi antara warga dan aparat keamanan di Kota Banggai, Kabupaten Bangkep, Sulawesi Tengah. Bentrokan, 28 Februari lalu yang menyebabkan empat orang tewas terjadi karena warga menolak pemindahan ibu kota kabupaten dari Banggai ke Salakan. Dengan demikian, tuntutan pemekaran daerah merupakan hal yang harus dipertimbangkan dengan hati-hati, terutama berkaitan dengan dampak yang ditimbulkannya.
Otonomi daerah yang telah diatur dalam undang-undang sejak 1999 pun dalam pelaksanaannya tidak luput dari masalah. Masalah yang paling akut adalah korupsi. Beberapa kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah daerah dan anggota DPRD telah banyak terungkap dan ditindaklanjuti lewat jalur hukum.
Sebut saja beberapa kasus, seperti korupsi Bupati Blitar, Jawa Timur yang terbukti melakukan korupsi data APBD 2000-2004 sebesar Rp97 miliar; korupsi berjemaah 22 anggota DPRD 1999-2004 Kendari, Sulawesi Tenggara atas dana APBD 2003-2004 sebesar Rp5,9 miliar dengan alasan studi banding fiktif, serta serangkaian kasus korupsi lainnya yang tengah diperiksa oleh aparat terkait.
Masalah lain yang tidak kalah memprihatinkannya adalah PP No 37/2006 yang menunjukkan ketidakpekaan para anggota DPRD, terutama berkaitan dengan rapel pemberian kenaikan tunjangan operasional dan komunikasi mereka di tengah berbagai krisis yang dialami masyarakat.
Kasus-kasus tersebut tidak saja memprihatinkan, namun mengenaskan karena menunjukkan kegagalan otonomi daerah dan ketidaksiapan para pelakunya dalam menjalankan amanat yang digariskan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, otonomi daerah maupun pemekaran daerah tidak selalu menjanjikan jalan yang terbaik dalam menyelesaikan permasalahan kesejahteraan rakyat di daerah.
Terlepas dari idealisme dan harapan yang digantungkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada, dalam kenyataannya banyak permasalahan pelik yang terjadi seputar penerapan kebijakan pemekaran daerah. Korupsi dan masalah terbengkalainya hak-hak rakyat bukanlah masalah satu-satunya yang muncul dalam penerapan pemekaran daerah. Masalah lain yang tidak kalah peliknya adalah masalah keamanan dan ketertiban.
Dengan kata lain, pemekaran daerah sebagai wujud dari penerapan demokrasi tetap tidak luput baik dari konflik horizontal antar warga daerah pemekaran terkait, maupun konflik kepentingan yang melibatkan kelompok-kelompok elite, seperti dari kalangan politik maupun ekonomi, yang berkepentingan atas daerah pemekaran yang bersangkutan.
Berlarut-larutnya masalah di daerah pemekaran juga tidak lepas dari kenyataan akan penerapan kebijakan otonomi daerah yang masih setengah hati. Hal ini terkait tidak hanya dengan pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah yang bersangkutan.
Menghangatnya isu pemekaran daerah juga terkait erat dengan penerapan kebijakan otonomi daerah yang rentan akan beberapa permasalahan dalam pelaksanaannya di lapangan, seperti konflik pilkada; korupsi; konflik horizontal antarwarga berkaitan dengan pemekaran; sampai dengan masalah inkonsistensi pemerintah pusat dalam mendelegasikan wewenang kepada pemerintah daerah.
Masalah terakhir ini salah satunya terkait dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri M Ma\’ruf tentang akan turun tangannya pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, yang dianggap tidak kooperatif. Di era reformasi dan demokratisasi, rasanya janggal jika pemerintah pusat masih mencampuri urusan pemerintah daerah.
Dua dilema yang dapat ditangkap dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, inkonsistensi pemerintah pusat dalam memberikan keleluasaan pemerintah daerah. Kedua, kegagalan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi otonomi daerah dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Dilema pertama dapat dilihat dalam pernyataan Mendagri berkaitan dengan keputusan pemerintah pusat untuk mengeluarkan peraturan tentang penyelenggaraan pemerintah daerah. Inkonsistensi, jika bisa dibilang keengganan pemerintah pusat, dalam membiarkan pemerintah daerah menjalankan fungsinya juga terlihat dalam aturan Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 185, yang mengatakan bahwa Mendagri mengevaluasi RAPBD yang telah mendapatkan persetujuan dari DPRD.
Dilema pertama juga tidak lepas dari kekhawatiran pemerintah pusat akan kecenderungan pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang mengarah pada federalisme, dengan penerapan wewenang otonomi daerah yang leluasa. Sebut saja, peraturan daerah yang mewajibkan zakat bagi pegawai negeri sipil yang dilakukan melalui pemotongan gaji; kebijakan dalam bidang perdagangan yang eksklusif; masalah pembagian keuangan pemerintah pusat dan daerah dengan proporsi yang kontroversial; dan sebagainya.
Di satu sisi, penerapan kebijakan otonomi daerah diarahkan tetap dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), namun demikian di sisi lain, disadari atau tidak keinginan pemerintah pusat untuk mencampuri urusan penyelenggaraan daerah menjadi indikator yang tidak kondusif bagi konsistensi penerapan otonomi daerah di Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah daerah merasakan adanya inkonsistensi dalam penerapan wewenang yang mereka miliki.
Kritik yang berkembang mengatakan bahwa pemerintah pusat hanya sekadar mendelegasikan wewenang, namun tidak diikuti oleh sumber daya, berupa dukungan dana dalam pelaksanaannya. Pun, ketika pemerintah daerah mulai mengambil inisiatif dalam kebijakannya, nuansa campur tangan dan kontrol dari pemerintah pusat masih terasa, seperti yang termaktub dalam Pasal 185 UU Pemerintah Daerah.
Namun demikian, terlepas dari era reformasi, kebebasan dalam berdemokrasi, tampaknya unsur tanggung jawab terhadap masyarakat dan etika profesional masih merupakan bagian yang suram dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Beberapa kasus, khususnya penyimpangan keuangan daerah, yang secara nyata melibatkan pemerintah di daerah maupun DPRD yang bersangkutan, mau tidak mau memaksa pemerintah pusat untuk tetap memegang kendali dalam pengawasan pelaksanaan otonomi daerah.
Campur tangan pemerintah sebenarnya wajar untuk memastikan bahwa tujuan pendelegasian wewenang mencapai target kesejahteraan rakyat dan pembangunan daerah yang berkelanjutan, dengan asumsi otonomi daerah akan membuat pelayanan kepada masyarakat semakin dekat dan memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengatur pemerintahan dan membangun secara kreatif, inovatif, dan mandiri sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar